Ilmu dan Teknologi Kelautan

Data Siklus Gempa Masih Langka



Proses terjadinya gempa bumi pertama kali dapat dijelaskan oleh Reid dengan teori Elastic Rebound-nya. Teori ini menerangkan bahwa pada zona patahan aktif, energi elastik atau strain terakumulasi secara perlahan-lahan selama puluhan sampai ratusan tahun akibat adanya pergerakan relatif di antara kedua blok di kiri-kanan zona patahan tersebut. Akumulasi strain ini kemudian dilepaskan sekaligus dalam satu hentakan keras. Inilah yang disebut peristiwa gempa bumi. Menurut Reid yang memakai prinsip deformasi elastik murni, siklus gempa mempunyai rentang waktu antargempa dan besar gempa yang selalu sama apabila gaya-gayanya tetap. Tentunya, di alam siklus gempa ini tidaklah benar-benar teratur seperti itu. Perlu diketahui, untuk mendukung teorinya, Reid memakai data gempa bumi dari gempa 1906 di Patahan San Andreas yang menghancurkan kota San Fransisco dan data gempa bumi tahun 1892 dari Patahan Sumatera yang dekat Gunung Sorik Merapi.

Teori "Plate Tectonics"
Kita baru mengerti kenapa gempa bumi banyak terjadi di wilayah-wilayah tertentu saja setelah Dietz dan Hess mengemukakan teori Plate Tectonics tahun 1960. Teori ini memperlihatkan bahwa gempa bumi banyak terjadi di tepian/batas lempeng-lempeng bumi. Teori Plate Tectonics ini juga menjelaskan bahwa bumi kita mempunyai lapisan luar yang padat, dengan ketebalan 15 - 35 km yang seolah-olah mengapung pada bagian dalam yang bersifat cair. Kulit bumi ini terbagi-bagi menjadi beberapa 'lempeng' besar yang saling bergerak relatif satu sama lain. Batas-batas lempeng-lempeng tersebut prinsipnya ada tiga macam. Pertama, zona pemekaran lantai samudra. Kedua, zona tumbukan dua lempeng, termasuk zona subduksi. Ketiga, zona transform, di mana dua lempeng bergerak satu relatif secara horizontal. Lempeng-lempeng tersebut bergerak karena adanya perbedaan tinggi antara zona pemekaran lantai samudra dan palung (gaya gravitasi) dan arus konveksi pada lapisan bersifat cair di bawah kulit luar bumi yang padat, yaitu pada mantel magma. Akibat adanya pergerakan tersebut, wilayah batas lempeng-lempeng ini menjadi pusat akumulasi energi regangan elastik (stress/strain), sehingga terjadilah banyak gempa bumi.

Pencatat Gempa Seismometer
Alat pertama yang dapat merekam kegiatan gempa bumi adalah seismometer. Alat ini dapat mencatat gelombang getaran yang ditimbulkan oleh gempa. Seismometer umumnya mulai banyak dipasang di berbagai tempat di dunia sejak awal tahun 1900-an. Baru pada tahun 1930-an Professor Charles Francis Richter di Caltech (California Institute of Technology) menemukan cara untuk mengukur besaran gempa, yaitu berdasarkan besarnya amplitudo gempa bumi yang terekam oleh alat seismometer tipe Wood-Anderson pada jarak tertentu dari sumber gempa. Prinsipnya, besarnya skala magnitudo gempa berbanding lurus dengan besar amplitudo dan berbanding terbalik dengan jarak alat ke sumber gempa. Setelah skala magnitudo Richter ini, kemudian ada beberapa skala magnitudo lain yang dikembangkan oleh para seismolog. Tapi, yang sekarang banyak dipakai adalah skala moment magnitude (Mw). Skala ini dianggap lebih realistik karena paling merepresentasikan sumber gempa bumi. Pada prinsipnya, besarnya skala Mw berbanding lurus dengan besarnya bidang sumber gempa dan besarnya pergerakan kulit bumi yang terjadi. Global Seismic Network (GSN) mulai dicanangkan sejak 1960-an. Sejak itu penelitian gempa bumi berdasarkan data seismik berkembang dengan pesat sejalan dengan perkembangan teknologi seismometer dan banyaknya jaringan seismik baru yang dipasang di berbagai belahan dunia.
         (Gambar catatan kegempaan oleh seismometer)


Metoda "Earthquake Geology"
Pada pertengahan tahun 1970-an ilmu earthquake geology, khususnya paleoseismologi mulai diperkenalkan dan kemudian berkembang dengan sangat pesat. Awalnya adalah dari kesuksesan projek paleoseismologi di Pallet Creek, San Andreas Fault. Paleoseismologi adalah metoda untuk mempelajari gempa bumi-gempa bumi yang pernah terjadi di masa lampau berdasarkan data stratigrafi (perlapisan tanah) dan analisis struktur tektoniknya. Sejak itu, metoda paleoseismologi banyak dilakukan di berbagai jalur patahan gempa bumi di dunia. Data paleoseismologi sekarang ini menjadi acuan utama untuk menganalisis potensi gempa bumi dalam usaha mitigasi bencana.

GPS (Global Positioning System)
Sejak tahun 1980-an teknologi GPS geodesi mulai dipergunakan untuk penelitian tektonik dan gempa bumi. Alat GPS dapat memantau pergerakan muka bumi dengan sangat akurat. Namun, baru dalam satu dasawarsa terakhir stasiun GPS kontinyu banyak dipasang di berbagai belahan dunia. Metoda GPS merupakan cara yang sangat andal untuk mempelajari proses gempa bumi. Meski demikian, masih mempunyai kelemahan, yaitu rentang waktu perekaman datanya masih sangat pendek jika dibandingkan dengan siklus gempa besar yang ratusan tahun.

Metoda Paleogeodesi
Metoda paleogeodesi mulai populer setelah dilakukan penelitian terhadap terumbu karang jenis mikroatol yang banyak tumbuh di pulau-pulau dan pantai barat Pulau Sumatra. Mikroatol ini pola pertumbuhannya sangat sensitif terhadap naik-turunnya muka laut yang berkaitan dengan naik-turunnya permukaan bumi karena proses gempa bumi pada zona subduksi di bawahnya. Meskipun rekaman data paleogeodesi ini tidak seakurat data dari peralatan GPS-geodesi modern, namun rentang waktu perekaman datanya sangat panjang, bisa sampai ratusan bahkan lebih dari 1000 tahun ke belakang. Karena itu, data paleogeodesi ini sangat berguna untuk mengisi kekosongan data dalam mempelajari proses dan siklus gempa bumi.

Pemodelan Fisika
Metoda pemodelan fisika dari sumber dan proses gempa bumi juga berkembang dengan sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Hal ini ditunjang oleh kemajuan pesat teknologi komputer. Ada beberapa masalah utama yang biasa menjadi objek pemodelan fisika. Pertama, lokasi, geometri, besar pergerakan (slip), dan mekanisme dari suatu gempa bumi. Kedua, regularitas/irregularitas dari siklus gempa bumi. Ketiga, interaksi antarsumber gempa bumi yang berdekatan, termasuk bagaimana gempa bumi yang terjadi di suatu segmen patahan bisa memicu gempa bumi berikutnya di segmen yang berdekatan. Keempat, kinematika dan dinamika patahan gempa bumi pada waktu sebelum, ketika, dan setelah gempa bumi besar.

Data masih langka
Dari uraian di atas, tersirat jelas bahwa hambatan besar dalam mempelajari/memodelkan gempa bumi adalah kelangkaan data dari siklus gempa bumi yang umumnya mempunyai rentang waktu ratusan tahun. Padahal, catatan sejarah gempa bumi umumnya baru ada sejak 1-2 abad terakhir saja. Itu pun sangat tidak lengkap. Selain itu, data dari peralatan modern pemantau gempa bumi seperti seismometer dan GPS, baru tersedia sejak beberapa puluh tahun terakhir saja. Hal ini menyebabkan banyak model fisika gempa bumi yang dikembangkan orang tidak bisa diuji validitasnya. Data paleogeodesi dari koral mikroatol tentunya sangat bermanfaat untuk mengisi kelangkaan data tersebut. Singkat kata, sejak beberapa puluh tahun terakhir, ilmu gempa bumi berkembang pesat. Data seismik dan GPS kelihatannya akan menjadi sumber data utama yang akan banyak memecahka permasalahan gempa bumi di masa datang. Namun, untuk saat ini data geologi, khususnya dari paleoseismologi dan paleogeodesi, akan menjadi data penunjang yang sangat penting untuk memahami perilaku kegempaan di suatu daerah. Indonesia merupakan wilayah yang sangat tinggi aktivitas gempa buminya karena terletak di antara tepi tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Eurasia (SE Asia), dan Lempeng Pasifik. Pergerakan dari ketiga lempeng tersebut jelas diperlihatkan oleh data GPS modern. Ironisnya, meskipun Indonesia adalah wilayah yang sangat rentan gempa bumi, penelitian gempa bumi sangat kurang dan nyaris tidak dikenal pemerintah dan masyarakat. Umumnya pengetahuan tentang potensi gempa bumi di berbagai wilayah di Indonesia tidak diketahui. Ini merupakah sebuah tantangan yang harus dijawab.
Data Siklus Gempa Masih Langka categorized : Marine Technology
No comment Add a comment

Komentar dari Anda akan sangat saya hargai.

Cancel Reply
GetID